Jumat, 30 Oktober 2009

Pondok Gubuk 13 (Pesantren Baru)





Semburat warna jingga tersembul dari ufuk timur, mataku terasa lengket oleh lem satu botol. Setelah adzan subuh menggema dari surau-surau dan semua orang melaksanakan kewajibannya, keputusan salah telah ku ambil. Bongkahan bantal empukku seakan menggoda untuk aku singgahi lagi, alhasil begini jadinya. Terseok-seok kubuka pintu kamar baruku, meja makanpun terpampang langsung. Si bungsu langsung menyapaku.





Sabtu, 24 Oktober 2009

Pondok Gubuk 13 ( Home Sweet House )


 Pagar berkarat, di tepi gubuk street atau bisa kita kenal dalam bahasa sehari-hari jalan gubuk. Lokasi sederhana perumahan yang hampir sesuai dengan tempat koloni bernaung. Kadang kita menganggap hidup tak berjalan bagai roda yang kadang diatas kadang dibawah. Tapi tak berlaku bagiku, hidupku seakan seperti ban kempes yang tak bisa berputar dan akhirnya penyok seperti kaleng bekas. Sebagai anak yang paling bongsor, sudah semestinya jadi panutan adik-adiknya. Keadaan yang memaksa kehidupan berubah secara drastis, ibu sekarang sendiri. Setelah melihat gelagat suaminya yang punya mata sebesar keranjang tukang buah membuat semuanya berakhir di meja hijau. Memang lagi musimnya kawin cerai. Tanpa pikir panjang kami bertiga, aku dan kedua adik perempuanku ikut ibu tak mau dengan ayah, mengingat seperti kebanyakan kasus yang berakhir dengan dikontraknya ibu tiri sebagai momok yang menakutkan. Kini kami bertiga bersama ibu memutuskan pindah ke tempat baru ini, rumah no.13 di jalan gubuk, yang menurut mitos angka 13 disebut angka sial, whatever lah.... Pertama ku injakan kaki di rumah itu yang terlihat hanya rumah kecil penuh dengan jaring-jaring spiderman. Mungkinkah dari istana pindah ke gubuk pekerja. Huh... Dengan senyum khasnya ibu mulai memenangkan kami.

Plurk