Pagar berkarat, di tepi gubuk street atau bisa kita kenal dalam bahasa sehari-hari jalan gubuk. Lokasi sederhana perumahan yang hampir sesuai dengan tempat koloni bernaung. Kadang kita menganggap hidup tak berjalan bagai roda yang kadang diatas kadang dibawah. Tapi tak berlaku bagiku, hidupku seakan seperti ban kempes yang tak bisa berputar dan akhirnya penyok seperti kaleng bekas. Sebagai anak yang paling bongsor, sudah semestinya jadi panutan adik-adiknya. Keadaan yang memaksa kehidupan berubah secara drastis, ibu sekarang sendiri. Setelah melihat gelagat suaminya yang punya mata sebesar keranjang tukang buah membuat semuanya berakhir di meja hijau. Memang lagi musimnya kawin cerai. Tanpa pikir panjang kami bertiga, aku dan kedua adik perempuanku ikut ibu tak mau dengan ayah, mengingat seperti kebanyakan kasus yang berakhir dengan dikontraknya ibu tiri sebagai momok yang menakutkan. Kini kami bertiga bersama ibu memutuskan pindah ke tempat baru ini, rumah no.13 di jalan gubuk, yang menurut mitos angka 13 disebut angka sial, whatever lah.... Pertama ku injakan kaki di rumah itu yang terlihat hanya rumah kecil penuh dengan jaring-jaring spiderman. Mungkinkah dari istana pindah ke gubuk pekerja. Huh... Dengan senyum khasnya ibu mulai memenangkan kami." Tenang, poles dikit pasti nggak jauh beda sama rumah kita dulu, yang penting kita bisa hidup tenang. Anggap saja ini rumah seperti kastil dimana tersimpan jutaan misteri yang belum terpecahkan, dan kalian yang terpilih untuk memecahkannya...." kami terdiam, tapi juga merasa tenang dengan ucapan ibu yang membuat semua kekhawatiran tersebut lenyap. Pintu berkarat itu aku buka, yang meninggalkan bekas keemasan ditanganku, perlahan-lahan kami melangkah mendekati pondokan tua tersebut, angin sore berhembus membasuh wajah kami, terasa olehku kesunyian dan kedamaian. Pintu depan sudah terlihat, ukiran jawa dengan hiasan motif-motif asimetris yang jika dilihat bagai kain batik seragam sekolahku saat hari jumat. Terpampang di depanku lonceng kecil bergaya etnik yang menambah kesan klasik pondokan itu. Pintu ibu buka.
" Kreek.... " derit pintu yang engselnya sudah aus. Tanpa basa-basi kami masuk, semua masih terjaga dengan baik. Barang-barang dan perabotan masih tertutup kain putih dengan rapi. Aku colek lantai di bawahku segumpal debu menghiasi telunjuk jari ku.
" Kita perlu kerja keras anak-anak...! '' seru ibu mengaba-abai kami bertiga.
'' Tapi Bu... Aku jijik lihatnya... '' rengek si bungsu yang memang dari dulu selalu dimanja oleh ayahnya. Aku hanya mendengus mendengarnya.
'' Adek maukah hidup sama ayah?? '' tanyaku.
Dia termenung sejenak.
'' Nggak mau... Aku pengen tetep sama Abang Ridwan, mbak Azka dan Ibu... '' si Bungsu menjawab dengan tegas tanpa keraguan sedikitpun.
'' Ya udah dek, kalau begitu Adek jangan begitu lagi ya. Kasihan ibu... '' tutur adik keduaku. Si bungsu mengangguk tanda setuju.
'' Ya sudah kalau begitu, kalian semua bantu ibu ya. Mumpung masih sore, '' perintah ibu.
Kami bertiga menurutinya. Ternyata yang ditakutkan si Bungsu tak terealisasikan. Dengan semangat kami berempat, pondokan tua itu sedikit demi sedikit mulai menampakkan keanggunan dan keramahannya. Rumah mini kami, tapi jumbo dengan suasana kekeluargaan. Setelah melaksanakan sholat maghrib berjamaah, dan aku yang diberi kewenanggan untuk jadi imam. Kami makan malam pertama kali di persinggahan baru kami. Menu mie instantlah yang didapuk untuk mengganjal perut kami. Biasanya kami selalu makan dengan rendang, ikan atau daging, tapi untuk kali ini kami hanya makan ala kadarnya. Selang beberapa menit lonceng rumah berdenting, ibu beranjak dari tempat duduk dan membukakan pintu kami mengekor di belakang. Di ambang pintu seorang ibu setengah baya dengan baju tahun 70an nya menampakkan raut wajah ramahnya.'' Selamat malam... '' sapanya
'' Iya malam Bu, ada keperluan apa ya? '' tanya ibu.
'' Maksud kedatangan saya kemari hanya untuk berkenalan saja, dan ini saya bawakan sedikit makanan sebagai salam perkenalan. Rumah saya di seberang, nama saya Sukma. Panggil saja Bu Ma, karena nanti kalau pake nama depan saya lain lagi artinya... ''
Kami semua tertawa hampir bersamaan mendengar celoteh Bu Ma yang bikin suasana makin hangat. Ibu menjawab perkenalan itu dengan sangat terbuka.'' Oh ya kenalin juga, ini anak laki-laki saya namanya Gumlegar Gede... Sini sayang jangan terus mengekor ibu. Harap maklum dia anaknya pemalu. ''
'' Iya nggak apa-apa Bu Ma.. '' jawab Ibu.
Kami semua tidak menyadari kalau ada orang lain selain Bu Ma. Tak lama muncul anak laki-laki yang dimaksud dari belakang badan Bu Ma yang cukup berbobot itu. Ternyata objek yang kami dengar tak sesuai dengan aslinya. Gumlegar Gede, yang menurut artinya mungkin dia bertubuh besar dan gagah, tapi apalah daya dia ternyata hanya anak laki-laki kurus tinggi dengan wajah culun berkacamata. Tampang malu-malunya membuat semuanya terasa lengkap, membuatnya pantas mendapat predikat Mr. Culun sesuai juga dengan dandanannya. Kami menahan tawa.
'' Ayo Gum salami Bu Lintang dan ketiga anaknya. '' suruh Bu Ma. Dengan malu-malu dia menjulurkan tangan kurus panjangnya pada kami bertiga.
'' Guu... Gum " ucapnya yang membuat kami bertiga termasuk Ibu terperangah. Suara Gugum bagai gemuruh saat hujan. Keras mendayu-dayu, dan kami baru sadar mengapa dia menyandang nama Gumlegar Gede.
Setelah kejutan perkenalan itu, aku makin tertarik apakah ada kejutan lain di pondok baru kami.
Pondok Gubuk 13..
salam kenaldr blogger tulungagung juga, kunjungi balik y blog aq http://rizky2009.blogspot.com/ kita bisa share tentang blog
BalasHapusmksh buat infonya...
BalasHapusdan mhon bantuannya...
Hmm,,like this..
BalasHapusblog aq di link jg dund..
http://www.decha-lovelyblog.blogspot.com
http://www.prasadicka.wordpress.com
thax's..
BalasHapuslink px'q jg dunk..
tp gmna crax???
hehe