Jumat, 30 Oktober 2009

Pondok Gubuk 13 (Pesantren Baru)





Semburat warna jingga tersembul dari ufuk timur, mataku terasa lengket oleh lem satu botol. Setelah adzan subuh menggema dari surau-surau dan semua orang melaksanakan kewajibannya, keputusan salah telah ku ambil. Bongkahan bantal empukku seakan menggoda untuk aku singgahi lagi, alhasil begini jadinya. Terseok-seok kubuka pintu kamar baruku, meja makanpun terpampang langsung. Si bungsu langsung menyapaku.





'' Pagi Bang... '' dengan senyum manisnya,
'' Pagi Dek.. '' ku amati penampilan si bungsu, dengan dibalut seragam biru putihnya, di lengan kanannya terlihat bet dengan aksara yang terbordir rapi, ''SMP Negeri 3 Griya Asri''. Setelah hampir 8 tahun merasakan sekolah swasta yang mungkin menganggap sekolah istimewa bagi segelintir orang, sekolah yang ongkos bulanannya jutaan rupiah, sekolah yang hanya selevel bagi anak-anak bos, artis atau bahkan yang berlagak jadi bos. Kini kami bertiga akan mencoba awal dunia baru, sekolah negerilah yang saat ini akan menjadi media untuk kami mengeruk ilmu, dari daratan yang dihuni koloni sederhana, sikap sederhana, gaya hidup sederhana, bahkan juga era sederhana. Sangat bertolak belakang dengan sekolah lama kami yang mungkin mirip seperti catwalk tempat para model memperagakan busana hasil buah karya desainer ternama. Aku menyebut mereka sebagai kumpulan manusia-manusia tak punya gerombolan sel-sel otak, hanya gengsilah andalan mereka, dari harta benda, sampai yang mempengaruhi kontak sosial mereka. Saat ini, gerbang baru kami akan segera terbuka, aku dan adik tengahku sekolah di SMA Negeri yang sama, sedang si bungsu duduk di SMP.





Setelah selesai merasakan bekunya air kran. Dengan segera ku kenakan si abu-abu putih baruku, sama seperti milik si bungsu di lengan kanannya terbordir rapi ''SMA Negeri 1 Griya Asri''. Jam tua di dinding itu seolah tak beranjak sedikitpun jarum panjang dan pendeknya. Semua telah bersiap di meja makan oval, terhidang dengan sederhana tiga piring mie instant yang masing-masing dijaga oleh segelas air. Sebelumnya saat berada di istana hambar itu, kami selalu menikmati sandwich yang di buat oleh babu mantan ayah genitku, mungkin aku berdosa jika mengatakan hal ini tapi itulah wujud kekecewaanku padanya. Mie instant itu serasa seperti spaghetti yang di buat koki dengan skil yang sangat tinggi di tambah bumbu ketulusan ibuku. Melihat tingkah baru kami, kembali beliau melempar senyum khasnya yang mungkin akan selalu ku rindu sepanjang jam masih mau menggerakkan kedua jarumnya. Kami hanya bisa diam menikmati sarapan pagi yang dihiasi hangatnya suhu keluarga baru kami, hanya sesekali terdengar bunyi tabrakan antara sendok dan garpu kami.
Jam kini tak bisa memberi toleransi lagi, jarum panjang dan pendeknya telah membentuk sudut siku-siku 90 derajat. Di depan pintu ukiran pondok gubuk ini, ibu melepas kami. Ku cium telapak lembut yang selama ini telah memberiku kasih sayang, disusul kedua orang yang lahir setelahku.
'' Kami berangkat Bu... '' pamitku yang mewakili,
'' Hati-hati di jalan ya Nak, belajar yang rajin... Ibu bangga pada kalian bertiga '' petuah ibu kembali mewanti-yanti kami, disusul senyum khas ibu.
'' Iya Bu, kami janji. '' jawabku.
'' Aku mengerti Bu.. '' timpal si Bungsu.
'' Asalamualaikum.. '' salam si tengah diikuti langkah kami bertiga meninggalkan ibu.
'' Walaikumsalam.. '' balas ibu diikuti kembali senyum khas ibu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Plurk