Jumat, 13 November 2009

Pondok Gubuk 13 ( Setetes Fatamorgana)


Pondok kamipun lama-lama mulai menjauh, masih terlihat lambaian kecil Ibu yang melepaskan kepergian anaknya di pesantren baru. Kami bertiga jalan terseok-seok karena kepanasan, walaupun jam masih menunjukkan pukul setengah 7. Inilah kenyataan, beberapa tahun menikmati mobil mewah milik ayah, kini hanya kekuatan kaki yang harus kami gunakan untuk menyusuri setapak demi setapak jalanan ini. Jarum jam terus merangkak naik, butuh waktu 15 menit buat aku dan kedua adikku sampai di sekolah baru kami. Di seberang jalan terpampang gerbang tinggi tapi kesan tuanya masih tetap terasa. Sepi, itulah kesan pertama yang mungkin bisa mendeskripsikan sekolah negeri itu. Aku dan kedua adikku saling berpandangan, tanpa pikir panjang, kaki-kaki lemas kami, dipaksa bangkit dan berusaha balapan dengan waktu. Gerbang terlewati dengan begitu saja, buru-buru kami masuk. Di benak kami bertiga, mungkinkah keterlambatan yang mengawalinya. Sampai di lapangan upacara yang belum diubin itu, kami menekan rem kuat-kuat. Sambil merunduk seperti orang ruku' saat sholat, ku tarik napasku yang ngos-ngosan. Memandang sekeliling, terlihat pemandangan yang membuat kami bertiga tercengang, enam ruang kelas berjajar rapi di depan kami, di tengahnya terdapat gang yang memisahkan kelas menjadi dua. Atapnya dari seng, bisa ku bayangkan saat hujan pasti suara genderang akan bertalu-talu, tembok monoton yang sering sekali ku temui di kebanyakan rumah, putih tapi tak berwujud warna aslinya bahkan cenderung mengarah ke warna coklat. Gorong-gorong kecil menghiasinya, sehingga menimbulkan pola baru pada dinding itu. Tak sampai di situ, tempat kami berdiri layaknya padang pasir yang panas, sisi depan kami berdiri dengan kokohnya tiang bendera dari bambu tua yang diujungnya terkibar dengan gagahnya sang merah putih walau warna putih dan merahnya bernasib sama dengan tembok ruang kelas baru kami.

Si Bungsu menoleh pada kami, kembali sorot mata ragu terpancar di mukanya yang dirundung kesedihan.
" Sabar ya Dek... " hanya kata itulah yang bisa ku jadikan penenang saat si Bungsu tak bisa menutupi perasaan kecewanya. Anggukkannya yang menjawab semuanya, walau sedikit terasa perasaan menutup-nutupi. Lain dengan si Bungsu, Azka adik keduaku seolah memiliki mental baja yang jarang di miliki perempuan seusianya, mungkin karena Ayah dulu tak begitu memanjakannya, Ayah lebih menganak emaskan si Bungsu. Tegar dan tak mau membuat panik orang di sekitarnya.
'' Ya sudah, kalian masuk gih ke kelas.. Mumpung belum banyak yang datang. '' suruhku pada keduanya.
'' Ya Bang.. '' jawab Azka, tanpa menunggu lama buru-buru dia masuk ke ruang kelas no.5 jika dihitung dari ruang kelas SMP. Sementara, si Bungsu masih tetap saja mematung di sampingku, merunduk dan kulihat pundaknya bergetar.
Aku bisa membaca bahasa tubuhnya, dia memang sangat rapuh, tak lama tanah padang pasir itu menghitam, seolah ada oasis yang hanyalah fatamorgana. Dia menangis, lama kelamaan getaran sendu itu semakin menyeruak ke permukaan. Aku bingung harus bagaimana, saat aku ingin menenangkannya dengan tetap merunduk si Bungsu beranjak meninggalkanku dan masuk ke kelas barunya. Ku terdiam sesaat, angin pagi itu membuat debu-debu berterbangan. Segerombolan anak manusia yang berpakaian sama sepertiku mulai memenuhi padang pasir ini, sang saka seolah tak menghiraukanku, tetap dengan gagahnya terkibar di mega yang membiru. Ku redam semua yang perasaan ini, berusaha menatap ke arah ruang kelas tua di samping kelas Azka. Pintunya terbuka lebar menantangku untuk memulai merasakan pengalaman baru dari yang pernah ku alami sebelumnya. Tanpa ragu, kembali kaki ini melangkah ke gerbang hidup baru yang mungkin akan mengajariku apa arti kehidupan yang benar dan mungkin juga kejam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Plurk