Setelah tragedi kecil yang ku alami di sekolah baruku pagi itu, kini ku mantapkan langkah kaki menuju pintu sekolah tua yang terus menampakkan kesan tuanya. " Tap" langkah terakhirku terdengar parau oleh gesekan lantai yang ubinnya bolong-bolong seperti potongan-potongan biscuit yang digerogoti koloni semut hitam. Ruangan kecil di hadapanku kini bisa saja orang mengira sepetak gubuk yang tidak bermakna sama sekali, tapi di sinilah awal mula kehidupan baruku akan mencapai episode terbarunya. Dinding tembok yang mungkin dulunya putih, terlihat samar oleh laju usia yang tak di sertai dengan pembaharuan. Jendela dari kayu-kayu lapuk yang tersumbat kaca, sebagian besar telah retak-retak dan bisa kupastikan kejahilan tangan-tangan segelintir kolonilah penyebab utama kemalangan si Kaca yang secara tidak langsung menyokong jalan hidup koloni. Mungkin selama ini sebagian koloni menganggap suatu objek hanyalah benda mati, yang bila sudah dimiliki akan terikat kontrak sampai barang itu menunjukkan manfaat terakhirnya atau malahan ada versi baru yang lebih dari versi terdahulu. Itulah sikap umum yang dimiliki kebanyakan koloni. apa boleh buat.
Muka-muka penasaran para koloni mulai terpampang di depanku, tanda tanya besar mungkin telah membuat mereka berpikir dengan keras, dan rasa ingin tau membuat mereka menjadi penasaran. Dari segelintir koloni yang menampakkan wajah penuh tanda tanya, di bangku paling belakang bisa ku lihat di pojok satu koloni yang aku pernah tatap muka. Dengan badan kurus kering, kacamata menghiasi matanya, dan kembali tampang malu-malu itu muncul di hadapanku. Tangan kurusnya melambai ke arahku,
"Mas Ridwan.. sini..!!" celetuknya, kembali suara besarnya mengalun di telingaku.
"Iya Gum.." timpalku.
Kini ku telah duduk di samping anak laki-laki kurus itu, dialah yang mempunyai keunikan dalam hidupnya.
"Kamu juga sekolah disini Gum??" tanyaku memulai pembicaraan pagi itu
"Iya Mas, wah ternyata kita sekelas ya Mas.." jawabnya, langsung benakku mulai mengolah perkataan Gugum, bukannya sekolah ini memang hanya ada satu kelas tiap tingkatannya, gimana nggak mungkin kalau aku dan dia satu kelas. Langsung saja aku mengiyakan argumen Gugum, agar hatinya jadi tenang ditutup oleh senyum maksa ku.
Jam tua di dinding depan menunjukkan pukul tujuh tepat, terdengar besi tua yang telah beralih fungsi itu menggumamkan suara nyaringnya. Dengan begini, pelajaran awalku di tempat baru ini akan segera dimulai. Dan kesiapanlah penentu segalanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar